460x68 ads

Friday, November 16, 2012

Sejarah Astronomi : CAHAYA DARI ANGKASA

 

                                                   
Sejak dahulu kala, nenek moyang dibuat kagum oleh bintang-bintang yang berkelip. berbagai pertanyaan, seperti mengapa bintang bisa bercahaya, dan apakah bintang dapat memengaruhi nasib manusia, merasuki benak manusia ketika mereka memandang langit.


                         TAKDIR DARI ANGKASA
Kedip cahaya dari angkasa diterjemahkan sebagai kabar dari dewa akan datangnya sebuah takdir, kabar akan keberuntungan ataupun nasib sial. Hadirnya komet, gerhana Matahari, dan Bulan di maknai dengan berbagai tafsir akan datangnya suatu kejadian. Orang Mesir Kuno menggunakan Bintang Sirius di belahan Langit Timur sebagai tanda akan datangnya banjir di sungai Nil. Bangsa Normandia juga menggunakan hasil pengamatan perilaku benda langit sebagai patokan akan datangnya sebuah takdir, seperti yang diperlihatkan dalam Tenunan Bayeux, yang berkisah tentang invasi bangsa Normandia ke Inggris pada tahun 1066.

                      HIJRIAH DAN MASEHI
Manusia berpedoman pada peredaran benda langit untuk menentukan tahun Hijriah, sedangkan tahun masehi menggunakan waktu edar bumi mengelilingi Matahari.
            
                      PENANGGALAN 30 HARI SETIAP BULAN
Penemuan kalender sudah sangat tua, ilmuan Mesopotamia pada zaman Raja Babilonia, Hammurabi (c.1792-1750 SM) telah membagi Khatulistiwa menjadi 360 derajat. Pada zaman itu pula bangsa Sumeria, Babilonia, dan Mesir Kuno telah menentukan penanggalan 30 hari tiap bulan serta setahun terdiri atas 12 bulan. Tidak hanya di situ, mereka juga menetapkan sehari menjadi 24 jam, siang-malam masing-masing 12 jam. Lebih jauh lagi, setiap jam terdiri atas 60 menit.



                    BABILONIA MENDASARI ILMU ASTRONOMI
Astronomi Babilonia merujuk ilmu perbintangan yang dikembangkan di Mesopotamia, daerah yang diapit Sungai Tigris dan Eufrat. Di Mesopotamia berkembang kerajaan kuno Sumeria, Akadia, Asyria, Babilonia, dan Kaldea (Babilonia Baru). Astronomi Babilonia mendasari banyak tradisi Astronomi yang dikembangkan bangsa Yunani (baik Klasik maupun Helenistik), India Klasik, Sasanid (Persia), Bizantium dan Eropa Barat.

                  ASTRONOMI HELENISTIK
Banyak tulisan, antara lain ahli geografi, matematikawan, dan Astronomi (kuno dan Helenistik) terpelihara hingga saat ini sehingga cara kerja dan pikir mereka masih menjadi referensi. Prestasi itu diraih Dekat hubungan Yunani dengan peradaban Timur Dekat (kini Timur Tengah), khususnya Babilonia.
Hal ini diketahui sejak ditemukanya benda benda arkeologi penting di abad ke-19, yang berupa manuskrip tulisan paku pada papan tanah liat, yang beberapa diantaranya berhubungan dengan astronomi. Salah satu papn astronomi paling terkenal itu di uraikan Abraham Sachs dan kemudian di terbitkan Otto Neugebauer dengan judul Astronomical Cuneiform Texts (Teks-Teks Astronomi Aksara Paku). Sejak penemuan kembali peradaban Babilonia, tampak nyata bahwa astronomi Helenistik dipengaruhi peradaban Kaldea (Babilonia Baru).

No comments:

Post a Comment